Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia (Kehidupan Ekonomi dan Sosial Zaman Jepang, Organisasi Bentukan Jepang)
Pendudukan Jepang di indonesia memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan bangsa Indonesia. Jepang menduduki dan menjajah Indonesia sejak jatuhnya Tarakan tanggal 11 Januari 1942 hingga 15 Agustus 1945. Selama itu, Jepang berhasil mengeksploitasi penduduk dan tanah Indonesia, lengkap dengan sumber daya alamnya.
a. Kehidupan Ekonomi Zaman Jepang
Indonesia (disebut Jepang dengan To Hindo) sudah lama diincar bala tentara Jepang. Alasannya adalah melimpahnya sumber daya manusia dan sumber daya alam. Hal ini sangat penting untuk mendukung kepentingan perang Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, perekonomian Indonesia bercorak ekonomi perang. Cirinya adalah adanya pengaturan, pembatasan, dan penguasaan faktor-faktor produksi oleh pemerintah militer.
Pemerintah pendudukan segera mengambil alih seluruh kegiatan ekonomi dan pembangunan.
Pemerintah pendudukan Jepang kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1942. Isinya
menyatakan bahwa pemerintah militer (Gunseikan) langsung mengawasi perkebunan. Perkebunan yang tidak mempunyai kaitan dengan perang ditutup. Sebaliknya, perkebunan karet, gula, teh, jarak, dan kina terus diberdayakan untuk perang. Komoditas ini sangat mendukung Jepang terutama dalam
menyiapkan akomodasinya.
Dalam bidang perbankan, Jepang melikuidasi bank-bank peninggalan Belanda. Hal ini dilakukan setelah bankbank tersebut membayar utang. Jepang kemudian mendirikan bank seperti Yokohama Ginko, Mitsui Ginko, Taiwan Ginko, dan Kana Ginko. Jepang mengeluarkan uang baru untuk menutup defisit akibat pembangunan bidang militer. Perekonomian penduduk lumpuh karena dikorbankan demi ”Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Penduduk dimobilisasi untuk
menyerahkan hasil bumi dan tenaganya. Akibatnya, kekurangan gizi dan kesengsaraan merajalela di berbagai daerah.
b. Kehidupan Sosial Zaman Jepang
Pemerintah pendudukan militer Jepang menerapkan beberapa kebijakan dalam rangka kepentingan perang. Jepang melarang seluruh kebudayaan Barat. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai
bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan bahasa Belanda. Jepang juga menghapuskan sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial pada era penjajahan Belanda.
Pendidikan zaman Jepang antara lain:
1) Kokumin Gakko atau Sekolah Rakyat (lama studi enam tahun).
2) Shoto Chu Gakko atau Sekolah Menengah Pertama (lama studi tiga tahun).
3) Koto Chu Gakko atau Sekolah Menengah Tinggi (lama studi tiga tahun).
4) Pendidikan kejuruan bersifat vokasional seperti pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
5) Pendidikan tinggi.
Pendidikan zaman Jepang bercirikan militerisme. Siswa setiap pagi harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang (Kimigayo), mengibarkan bendera Jepang (Hinomaru) dan menghormat Kaisar
Jepang (Seikirei). Mereka juga harus melakukan Dai Toa, yaitu sumpah setia pada cita-cita Asia Raya dan wajib melakukan senam Jepang (Taiso) serta latihan fisik kemiliteran. Para guru dididik dengan Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang. Selain itu, juga mengikuti indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu. Mereka harus bisa memahami dan menerapkan bahasa, sejarah, dan adat istiadat Jepang. Guru-guru zaman Jepang juga diajari ilmu bumi dan olahraga serta nyanyian Jepang.
Para pemuda dan orang tua diwajibkan mengikuti romusha untuk mengerjakan proyek Jepang atau medan perang. Ribuan romusha dikerahkan dari Pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar wilayah Indonesia. Jepang menggunakan cara paksa, setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia kerja. Data inilah yang akan dijadikan romusha. Ribuan romusha dari berbagai daerah di Indonesia dikirim ke berbagai medan perang. Beberapa romusha yang masih hidup sempat melancarkan protes kepada pemerintah Jepang. Atas kekejaman bala tentara Jepang selama Perang Dunia 2, PM Jepang Jurichiro Koizumi. Pada tahun 2005 sempat minta maaf kepada negara-negara Asia.
Para pemuda potensial yang ada di desa, direkrut ke dalam organisasi lembaga semimiliter Jepang. Di bawah Sendenbu (bagian propaganda), mereka antara lain dimasukkan dalam lembaga sebagai berikut.
1) Seinendan yaitu tenaga cadangan untuk pertahanan jika diserang tentara Sekutu.
2) Keibodan yaitu organisasi bersenjata bedil kayu dan bambu yang menjaga keselamatan desa.
3) Pembela Tanah Air (PETA) yaitu tentara sukarela dengan senjata senapan dengan pendidikan militer dan politik.
4) Heiho yaitu prajurit pembantu bala tentara Jepang.
5) Fujinkai yaitu perkumpulan wanita untuk memobilisasi pengumpulan bantuan logistik perang.
a. Kehidupan Ekonomi Zaman Jepang
Indonesia (disebut Jepang dengan To Hindo) sudah lama diincar bala tentara Jepang. Alasannya adalah melimpahnya sumber daya manusia dan sumber daya alam. Hal ini sangat penting untuk mendukung kepentingan perang Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, perekonomian Indonesia bercorak ekonomi perang. Cirinya adalah adanya pengaturan, pembatasan, dan penguasaan faktor-faktor produksi oleh pemerintah militer.
Pemerintah pendudukan segera mengambil alih seluruh kegiatan ekonomi dan pembangunan.
Pemerintah pendudukan Jepang kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1942. Isinya
menyatakan bahwa pemerintah militer (Gunseikan) langsung mengawasi perkebunan. Perkebunan yang tidak mempunyai kaitan dengan perang ditutup. Sebaliknya, perkebunan karet, gula, teh, jarak, dan kina terus diberdayakan untuk perang. Komoditas ini sangat mendukung Jepang terutama dalam
menyiapkan akomodasinya.
Dalam bidang perbankan, Jepang melikuidasi bank-bank peninggalan Belanda. Hal ini dilakukan setelah bankbank tersebut membayar utang. Jepang kemudian mendirikan bank seperti Yokohama Ginko, Mitsui Ginko, Taiwan Ginko, dan Kana Ginko. Jepang mengeluarkan uang baru untuk menutup defisit akibat pembangunan bidang militer. Perekonomian penduduk lumpuh karena dikorbankan demi ”Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Penduduk dimobilisasi untuk
menyerahkan hasil bumi dan tenaganya. Akibatnya, kekurangan gizi dan kesengsaraan merajalela di berbagai daerah.
b. Kehidupan Sosial Zaman Jepang
Pemerintah pendudukan militer Jepang menerapkan beberapa kebijakan dalam rangka kepentingan perang. Jepang melarang seluruh kebudayaan Barat. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai
bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan bahasa Belanda. Jepang juga menghapuskan sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial pada era penjajahan Belanda.
Pendidikan zaman Jepang antara lain:
1) Kokumin Gakko atau Sekolah Rakyat (lama studi enam tahun).
2) Shoto Chu Gakko atau Sekolah Menengah Pertama (lama studi tiga tahun).
3) Koto Chu Gakko atau Sekolah Menengah Tinggi (lama studi tiga tahun).
4) Pendidikan kejuruan bersifat vokasional seperti pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
5) Pendidikan tinggi.
Pendidikan zaman Jepang bercirikan militerisme. Siswa setiap pagi harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang (Kimigayo), mengibarkan bendera Jepang (Hinomaru) dan menghormat Kaisar
Jepang (Seikirei). Mereka juga harus melakukan Dai Toa, yaitu sumpah setia pada cita-cita Asia Raya dan wajib melakukan senam Jepang (Taiso) serta latihan fisik kemiliteran. Para guru dididik dengan Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang. Selain itu, juga mengikuti indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu. Mereka harus bisa memahami dan menerapkan bahasa, sejarah, dan adat istiadat Jepang. Guru-guru zaman Jepang juga diajari ilmu bumi dan olahraga serta nyanyian Jepang.
Para pemuda dan orang tua diwajibkan mengikuti romusha untuk mengerjakan proyek Jepang atau medan perang. Ribuan romusha dikerahkan dari Pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar wilayah Indonesia. Jepang menggunakan cara paksa, setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia kerja. Data inilah yang akan dijadikan romusha. Ribuan romusha dari berbagai daerah di Indonesia dikirim ke berbagai medan perang. Beberapa romusha yang masih hidup sempat melancarkan protes kepada pemerintah Jepang. Atas kekejaman bala tentara Jepang selama Perang Dunia 2, PM Jepang Jurichiro Koizumi. Pada tahun 2005 sempat minta maaf kepada negara-negara Asia.
Para pemuda potensial yang ada di desa, direkrut ke dalam organisasi lembaga semimiliter Jepang. Di bawah Sendenbu (bagian propaganda), mereka antara lain dimasukkan dalam lembaga sebagai berikut.
1) Seinendan yaitu tenaga cadangan untuk pertahanan jika diserang tentara Sekutu.
2) Keibodan yaitu organisasi bersenjata bedil kayu dan bambu yang menjaga keselamatan desa.
3) Pembela Tanah Air (PETA) yaitu tentara sukarela dengan senjata senapan dengan pendidikan militer dan politik.
4) Heiho yaitu prajurit pembantu bala tentara Jepang.
5) Fujinkai yaitu perkumpulan wanita untuk memobilisasi pengumpulan bantuan logistik perang.
Komentar
Posting Komentar